Laman

Senin, 30 April 2012

Ketidakpastian BBM terus Dorong Inflasi

Ketidakpastian harga Bahan bakar Minyak (BBM) terus dorong Ekspektasi Inflasi, untuk mencegah ekspektasi inflasi tersebut Pemerintah seharusnya memastikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi tidak akan naik sampai dengan akhir tahun karena memiliki cadangan fiskal yang cukup untuk menutup pembengkakan subsidi.

Namun hal itu perlu dikombinasikan dengan program pembatasan dan penghematan pemakaian BBM guna menahan laju pembengkakan konsumsi Bahan Bakar Minyak Bersubsidi.Berdasarkan  Pasal 7 ayat 6a Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara perubahan (APBN-P) 2012. Pemerintah hanya memiliki Kewenangan menaikan Harga BBM bersubsidi  manakala rata-rata harga jual minyak mentah Indonesia ICP selama 6 Bulan terakhir diatas 15% dari asumsi.

Tetapi karena waktunya tidak pasti karena kondisi yang harus dicapai, itu akan membuat pasar selalu membuat pasar  punya ekspektasi akan ada kenaikan Harga BBM dan itu akan membuat Inflasi. Rentang antara tingginya ICP dengan harga BBM bersubsidi yang tetap Harga Rp 4.500 per liter karena pemerintah tidak memiliki ruang menyesuaikan Harga secara langsung membuat subsidi BBM dan Listrik akan Bengkak. subsidi BBM dianggarkan Rp 137 triliun untuk Volume 40 juta kiloliter.

dan pada kaondisi seperti ini Pemerintah sebaiknya harus membuat langkah Tegas dan cepat untuk mengumumkan harga BBM bersubsidi tidak akan naik sampai dengan akhir tahun, dan Pilihan itu merupakan yang terbaik untuk saat ini.

Program Penghematan, naiknya penerimaaan Negara akibat ICP, serta adanya cadangan Fiskal yang memadai jika dikombinasikan dengan baik akan mampu menutupi jebolnya Kuota. dan ketidakpastian pada pasar itu sangatlah tidak baik terhadap kondisi perekonomian dan stabilitas harga pada saat ini.

Minggu, 08 April 2012

PENYERAPAN APBD DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH


PENYERAPAN APBD DAN 
PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH

Oleh : Yopi Eka Anroni, SE

1. Pendahuluan

Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa APBD memiliki peranan yang cukup penting untuk mempercepat gerak roda pembangunan di setiap daerah, terutama dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi daerah. Untuk mewujudkan hal itu, Pemerintah Pusat telah mengalokasikan dana besar keseluruh Pemda diseluruh wilayah Indonesia. Sebagai buktinya semenjak diberlakukannya desentralisasi pemerintahan delapan tahun yang lalu, maka saat ini hampir sepertiga dari dana APBN telah dialokasikan ke daerah. Tujuannya tidak lain adalah dalam rangka meningkatkan pelayanan publik dan sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi di seluruh daerah. Adanya komitmen pemerintah pusat untuk mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah tersebut melalui kebijakan desenralisasi fiskal perlu mendapat acungan jempol dan appresiasi. Sebab meskipun Pemerintah Pusat mendapat tantangan dan kritikan dari beberapa daerah yang memiliki kapasitas fiskal yang besar, namun pemerintah tetap kukuh dan disiplin untuk memenuhi kebutuhan fiskal bagi daerah yang memiliki kapasitas kecil (Agung Pambudhi, 2008). Fakta  yang demikian  juga diikuti dengan semakin meningkatnya dana APBN yang dialokasikan ke seluruh daerah dari tahun ketahun baik berupa Dana Alokasi Umum (DAU) maupun Dana Alokasi Khusus (DAK).

Komitmen dan disiplin Pemerintah Pusat yang tinggi tersebut diungkapkan langsung oleh Menteri Keuangan dan Presiden SBY. Dalam hal ini, Agus Martowardoyo sebagai Menkeu pada berbagai event sering menyatakan bahwa Kementrian Keuangan bersama dengan Kementrian Dalam Negeri akan memantau dan mengawasi penggunaan dana anggaran belanja daerah (APBD) sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah dan kesejahteraan masyarakat. Pemantauan tersebut dilakukan untuk memastikan bahwa APBD tersebut benar-benar digunakan untuk mendukung pengembangan sektor riil dan bukan diinvestasikan ke instrumen keuangan lainnya. Presiden SBY juga sering mengingatkan agar Pemda  tidak menyimpan dana secara berlebihan di bank maupun dalam bentuk dana Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sehingga diharapkan dapat menjadi stimulan bagi pertumbuhan ekonomi daerah. Malahan Presiden SBY pernah menyorot dan mengingatkan Pemda di depan sidang paripurna Dewan Perwakilan daerah (DPD) tahun 2007, ”Sesungguhnya keadaan ini seperti ironis, dimana ditengah-tengah keperluan modal finansial yang besar untuk kepentingan berbagai usaha sektor riil, terdapat dana yang parkir di bank atau menganggur dalam jumlah yang besar”. Dalam sidang Paripurna DPD 2009, Presiden kembali mengingatkan daerah, jangan sampai terlambatnya penetapan Perda APBD tersebut karena kepentingan politik elit di daerah. Presiden menegaskan ”jangan sampai kepentingan masyarakat tersandera oleh kepentingan politik elit diantara pemimpin-pemimpin daerah. Karena itu, diperlukan sinergi yang baik antara eksekutif dan legislatif dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Hal ini dimaksudkan tidak lain agar dana yang menganggur tersebut dapat digunakan untuk mempercepat proses pembangunan disetiap daerah di seluruh Indonesia melalui peningkatan pelayanan publik. Namun dalam pelaksanaannnya ternyata secara umum masih ada yang disalahtafsirkan oleh Pemda baik oleh eksekutif maupun pihak legislatif. Meskipun Pemda sejak tahun 2003 sudah mencoba menerapkan sistim anggaran berbasis kinerja (Performance Base Budgeting), namun dalam pelaksanaannya ternyata penyerapan anggaran masih saja mengalami berbagai macam permasalahan.


2. APBD dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah.
Suatu hal yang tidak perlu diragukan lagi bahwa APBD memiliki peranan yang cukup penting untuk mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi daerah. Akan tetapi dalam kenyataannya, penyerapan APBD diberbagai daerah di Indonesia dalam dua tahun terakhir ini ternyata boleh dikatakan masih lambat sekali. Pengalaman beberapa daerah pada tahun 2008 misalnya, masih ada daerah yang baru mampu menyerap ABPDnya sampai dengan bulan Juli tahun 2008 sebesar 19 % saja, dan ada beberapa daerah  yang sudah mencapai 40-an %. Tetapi sesuai dengan disiplin anggaran maka seharusnya sampai dengan bulan Juli Tahun 2008 masing-masing daerah sudah harus mampu menyerap APBD sebesar lebih kurang 50 %. Namun kenyataan menunjukkan lain, dimana secara rata-rata di seluruh daerah di Indonesia daya serap APBD tersebut ternyata masih sangat rendah, dimana selama 6 bulan pertama  secara rata-rata daya serap APBD baru mencapai 30 % saja, meskipun ketok palu pengesahan anggarannya sudah relatif lebih cepat dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Sementara itu pada pada tahun 2009, daerah yang ketok palu APBD nya juga cukup cepat ternyata sampai dengan bulan juli ini penyerapan APBDnya juga masih relatif rendah. Daerah DKI sebagai daerah ibu kota Republik ini tahun 2009 ini baru mampu menyerap APBDnya sebesar 30% saja. Kenyataan yang demikian memberikan gambaran bahwa jangankan mampu untuk meningkatkan kinerjanya, ternyata aparatur Pemda membelanjakan anggaran saja sesuai dengan prosedur dan aturan yang berlaku masih jauh dari yang diharapkan. Kalau realitanya sudah begitu, sudah tentu sulit juga mengharapkan APBD memiliki peran yang penting untuk meningkatkan pelayanan Publik dan sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Kenyataan yang demikian juga didukung oleh hasil studi yang dilakukan oleh Hamid Padu dkk dari Tim Asistensi Mentri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiscal (2008), dimana penyerapan APBD selain tidak optimal juga banyak yang tidak sesuai dengan perencanaan.

Terlambatnya penyerapan dana APBD tersebut sudah tentu tidak terlepas dari beberapa faktor penyebabnya yang antara lain : Pertama,  masih lambatnya  pihak eksekutif maupun legislatif menyusun perencanaan dan  penganggaran, sehingga ketuk palu pengesahan Perda APBD juga menjadi terlambat. Terjadinya keterlambatan pengesahan Perda APBD telah sering terjadi dan malahan berulang-ulang pada beberapa daerah tertentu. Meskipun sudah diberikan warning oleh Pemerintah Pusat (Depkeu) namun masih saja ada daerah yang mengalami keterlambatan dalam ketok palu APBDnya. Kondisi yang demikian sudah tentu membawa pengaruh pula terhadap keterlambatan penyerapan dan realisasinya. Pada hal Presiden SBY sudah mengingatkan yakni ”saya sungguh tidak ingin terjadi hambatan dalam perencanaan dan penggunaan dana APBD agar semua sasaran pembangunan dapat tercapai”. Karena itu diperlukan sinergi yang baik antara eksekutif dan legislatif dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.  Merupakan hal yang ironis sekali kalau masih saja ada penyerapan dana APBD yang terlambat, sebab perhatian Pemerintah Pusat terhadap Pemda dalam penggunaan dan penyerapan dana APBD sudah tinggi sekali. Kedua, munculnya rasa ketakutan bagi aparatur Pemda untuk menggunakan dana tersebut secara cepat. Hal ini barangkali wajar saja terjadi, sebab disamping pemahaman SDM pemegang program dan kegiatan yang masih rendah, sedangkan resiko yang harus ditanggung oleh pemegang program dan kegiatan tersebut adalah besar yaitu “penjara”. Karena itu  meskipun sudah ada penegasan oleh Presiden SBY bahwa ketakutan menggunakan dana APBD seharusnya tidak perlu terjadi, sebab Badan Pengawas Keuangan dan BPKP siap untuk memberikan pendampingan, namun dalam  kenyataannya ketakutan tersebut masih saja ada. Ketiga, Seringkalinya terjadi perubahan peraturan tentang pengelolaan keuangan daerah mulai dari Kepmendagri 29 Tahun 2003, Permendagri No.59 Tahun 2007 dan Permendagri No.32 Tahun 2008.  Keempat, relatif terbatasnya  waktu yang tersedia oleh eksekutif untuk memberikan pelayanan kepada publik, karena waktu eksekutif boleh dikatakan habis untuk menyusun perencanaan dan penganggaran serta  mempersiapkan 5 (lima) jenis laporan pertanggung jawaban APBD. Kondisi yang demikian sudah tentu membawa pengaruh yang tidak optimal terhadap pelayanan publik, sehingga pada akhirnya juga berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.

Terjadinya beberapa permasalahan dalam penyerapan dan pelaksanaan APBD tersebut jelas tidak terlepas dari lemahnya kemampuan teknis sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki oleh daerah baik kualitas SDM Pemda (Eksekutif dan Legislatif) maupun kualitas SDM Publik. Sangatlah ironis sekali tuntutan yang cepat terhadap penyerapan APBD dan perannya yang besar terhadap pelayanan publik dan pertumbuhan ekonomi bila perhatian terhadap pengembangan SDM aparatur Pemda masih relatif rendah terutama dalam pengelolaan keuangan daerah dimasa mendatang. Disamping itu aturan-aturan yang terlalu cepat berubah serta banyaknya jenis  laporan yang harus disiapkan oleh Pemda harus menjadi pemikiran bagi pihak yang berkompeten hendaknya.

Dengan demikian, maka penguatan Sumber Daya Manusia daerah dan partisipasi publik melalui kerjasama dan kemitraan dengan berbagai macam lembaga (Perguruan Tinggi, LSM dan forum warga) yang memiliki kompetensi untuk melakukan pengawasan terhadap penyerapan dan pelaksanaan APBD pada setiap tahapan dalam siklus anggaran merupakan satu alternatif yang dapat ditempuh untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah dimasa mendatang.