Oleh :
Yopi Eka Anroni
(Mahasiswa Pascasarjana Univ.trisakti)
Pembahasan tentang
Rancangan Undang-Undang tentang Organisasi Massa (RUU Ormas) sudah
hampir rampung di tangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun masih ada
beberapa persoalan krusial yang masih mengganjal, bahkan dianggap
sangat destruktif bagi perkembangan demokratisasi. Karena itu, belum
lama ini, puluhan ormas dan LSM yang tergabung dalam “Koalisi Akbar”
menolak RUU Ormas.
Mengapa ditolak, ada banyak alasan. Dalam
kolom yang terbatas ini saya hanya akan mengungkapkan tiga saja, yakni
pertama soal definisi atau batasan, kedua soal asas, dan ketiga soal
kewenangan pemerintah—dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri—untuk
membekukan atau membubarkan ormas.
Definisi ormas yang tertuang dalam RUU
terlalu luas, baik yang berbasis massa maupun tidak (seperti yayasan),
bahkan mencakup di dalamnya semua perkumpulan yang bersifat spesifik
seperti kesamaan minat, bakat, hobi, dan lain-lain. Padahal, untuk bisa
beraktivitas, ormas harus mendapatkan pengesahan dari pemerintah. Jadi,
jika ketentuan ini disahkan, kelompok arisan pun harus disahkan oleh
pemerintah. Itu yang pertama.
Kedua, soal asas. Terdapat upaya untuk
menyamakan semua asas ormas yakni Pancasila. Meskipun ada ketentuan bisa
berasas lain asalkan tidak bertentangan dengan Pancasila, hal ini masih
bisa menimbulkan interpretasi yang bermacam-macam karena frase “asal
tidak bertentangan” bisa berpotensi menafikan asas lain selain
Pancasila. Ormas yang berasaskan keagamaan atau kedaerahan misalnya,
sangat mungkin ditafsirkan bertentangan dengan Pancasila.
Ketiga, soal kewenangan pemerintah untuk
membekukan atau membubarkan ormas. Ketentuan ini bisa kita pahami karena
dilatarbelakangi oleh munculnya ormas-ormas yang meresahkan di
tengah-tengah masyarakat. Banyaknya front-front yang cenderung membuat
onar dan merusak memunculkan pandangan pentingnya pemerintah menata dan
menertibkan ormas. Usulan agar ormas-ormas atau front-front itu
dibubarkan pun merebak di tengah-tengah masyarakat.
Tapi, haruskah pemerintah yang berwenang
membekukan atau membubarkan ormas? Inilah persoalan penting yang harus
dicermati. Menurut konstitusi (UUD 1945) setiap warga negara dijamin
hak-haknya untuk berkumpul, mengeluarkan pendapat, dan lain-lain yang
masuk kategori hak-hak asasi. Kewenangan pemerintah untuk membekukan
atau membubarkan ormas atau perkumpulan berpotensi melanggar hak-hak
asasi manusia.
Ketika ada ormas yang melakukan tindak
kekerasan, atau tindak tanduknya meresahkan masyarakat, saya kira hal
ini harus dilihat secara jernih, apakah yang meresahkan itu ormas atau
perkumpulannya, ataukah oknum orang-orang (aktivis) yang ada di
dalamnya? Saya lebih cenderung berpendapat bahwa yang berbuat onar
adalah orang-orangnya.
Ormas atau perkumpulan hanyalah alat belaka
yang bisa dimanfaatkan untuk kebaikan atau untuk kejahatan. Jika
ternyata untuk tindak kejahatan, yang patut disalahkan tentu bukan
alatnya, tapi orang yang menggunakannya. Jadi yang harus ditindak secara
hukum adalah orang yang memanfaatkannya untuk kejahatan.
Soal syarat pembekuan/pembubaran ormas yang
jika dianggap berpotensi menimbulkan perpecahan, atau mengancam
persatuan nasional, adalah syarat yang sangat elastis, seperti pasal
karet yang bisa ditarik untuk memberangus ormas-ormas. Dengan
interpretasi subjektifnya, pemerintah bisa membekukan atau membubarkan
ormas kapan saja.
Dengan mencermati ketiga hal ini (belum
ketentuan-ketentuan lain yang juga dianggap krusial), kita bisa melihat
dengan jelas adanya upaya untuk mengembalikan kekuasaan pemerintah yang
otoriter sebagaimana yang telah dipraktikkan rezim Orde Baru di bawah
Presiden Soeharto.
Upaya-upaya untuk mengembalikan gaya lama,
yakni dengan cara otoriter dan fasistis dalam berpolitik, harus terus
kita waspadai dan sebisa mungkin dicegah sebelum RUU ini benar-benar
disahkan DPR. Jika sudah disahkan menjadi undang-undang, memang masih
bisa dikoreksi dengan melakukan judicial review ke Mahkamah
Konstitusi (MK). Tapi jika ini terjadi, sama artinya dengan
membuang-buang tenaga dan dana yang semestinya bisa dimanfaatkan untuk
hal-hal lain yang lebih konstruktif. Oleh karena itu, marilah kita
tolak RUU Ormas yang berpotensi mengembalikan kekuatan bergaya lama ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar