Laman

Sabtu, 16 Maret 2013

Mewaspadai Kembalinya Gaya Lama

Oleh :
Yopi Eka Anroni
(Mahasiswa Pascasarjana Univ.trisakti)

Pembahasan tentang Rancangan Undang-Undang tentang Organisasi Massa (RUU Ormas) sudah hampir rampung di tangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun masih ada beberapa persoalan kru­sial yang masih mengganjal, bahkan dianggap sangat des­truktif bagi perkembangan demokratisasi. Karena itu, belum lama ini, puluhan ormas dan LSM yang terga­bung dalam “Koalisi Akbar” menolak RUU Ormas.

Mengapa ditolak, ada banyak alasan. Dalam kolom yang terbatas ini saya hanya akan mengungkapkan tiga saja, yakni pertama soal definisi atau batasan, kedua soal asas, dan ketiga soal kewenangan pemerintah—dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri—untuk membekukan atau membubarkan ormas.

Definisi ormas yang tertuang dalam RUU terlalu luas, baik yang berbasis massa maupun tidak (seperti yayasan), bahkan mencakup di dalamnya semua perkumpulan yang bersifat spesifik seperti kesamaan minat, bakat, hobi, dan lain-lain. Padahal, untuk bisa beraktivitas, ormas harus mendapatkan pengesahan dari pemerintah. Jadi, jika ketentuan ini disahkan, kelompok arisan pun harus disahkan oleh pemerintah. Itu yang pertama.

Kedua, soal asas. Terdapat upaya untuk menyamakan semua asas ormas yakni Pancasila. Meskipun ada ketentuan bisa berasas lain asalkan tidak bertentangan dengan Pancasila, hal ini masih bisa menimbulkan interpretasi yang bermacam-macam karena frase “asal tidak bertentangan” bisa berpotensi menafikan asas lain selain Pancasila. Ormas yang berasaskan keagamaan atau kedaerahan misalnya, sangat mungkin ditafsirkan bertentangan dengan Pancasila.

Ketiga, soal kewenangan pemerintah untuk membekukan atau membubarkan ormas. Ketentuan ini bisa kita pahami karena dilatarbelakangi oleh munculnya ormas-ormas yang meresahkan di tengah-tengah masyarakat. Banyaknya front-front yang cenderung membuat onar dan merusak memunculkan pandangan pentingnya pemerintah menata dan menertibkan ormas. Usulan agar ormas-ormas atau front-front  itu dibubarkan pun merebak di tengah-tengah masyarakat.

Tapi, haruskah pemerintah yang berwenang membekukan atau membubarkan ormas? Inilah persoalan penting yang harus dicermati. Menurut konstitusi (UUD 1945) setiap warga negara dijamin hak-haknya untuk berkumpul, mengeluarkan pendapat, dan lain-lain yang masuk kategori hak-hak asasi. Kewenangan pemerintah untuk membekukan atau membubarkan ormas atau perkumpulan berpotensi melanggar hak-hak asasi manusia.

Ketika ada ormas yang melakukan tindak kekerasan, atau tindak tanduknya meresahkan masyarakat, saya kira hal ini harus dilihat secara jernih, apakah yang meresahkan itu ormas atau perkumpulannya, ataukah oknum orang-orang (aktivis) yang ada di dalamnya? Saya lebih cenderung berpendapat bahwa yang berbuat onar adalah orang-orangnya.

Ormas atau perkumpulan hanyalah alat belaka yang bisa dimanfaatkan untuk kebaikan atau untuk kejahatan. Jika ternyata untuk tindak kejahatan, yang patut disalahkan tentu bukan alatnya, tapi orang yang menggunakannya. Jadi yang harus ditindak secara hukum adalah orang yang memanfaatkannya untuk kejahatan.

Soal syarat pembekuan/pembubaran ormas yang jika dianggap berpotensi menimbulkan perpecahan, atau mengancam persatuan nasional, adalah syarat yang sangat elastis, seperti pasal karet yang bisa ditarik untuk memberangus ormas-ormas. Dengan interpretasi subjektifnya, pemerintah bisa membekukan atau membubarkan ormas kapan saja.

Dengan mencermati ketiga hal ini (belum ketentuan-ketentuan lain yang juga dianggap krusial), kita bisa melihat dengan jelas adanya upaya untuk mengembalikan kekuasaan pemerintah yang otoriter sebagaimana yang telah dipraktikkan rezim Orde Baru di bawah Presiden Soeharto.

Upaya-upaya untuk mengembalikan gaya lama, yakni dengan cara otoriter dan fasistis dalam berpolitik, harus terus kita waspadai dan sebisa mungkin dicegah sebelum RUU ini benar-benar disahkan DPR. Jika sudah disahkan menjadi undang-undang, memang masih bisa dikoreksi dengan melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tapi jika ini terjadi, sama artinya dengan membuang-buang tenaga dan dana yang semestinya bisa dimanfaatkan untuk hal-hal lain yang lebih konstruktif.  Oleh karena itu, marilah kita tolak RUU Ormas yang berpotensi mengembalikan kekuatan bergaya lama ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar