Oleh : Yopi Eka Anroni
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Trisakti
Banyak jalan menuju Roma, banyak cara
untuk memilih calon anggota DPR yang berkualitas yang bisa mengangkat
pamor lembaga legislatif. Mengingat pada periode ini terpuruk terutama
karena banyaknya kasus korupsi yang melibatkan anggotanya.
Pemilihan umum (pemilu) yang digelar
lima tahun sekali merupakan momentum untuk meningkatkan kualitas dan
popularitas anggota DPR. Itu karena hanya melalui pemilu, anggota DPR
bisa dipilih secara bersama-sama untuk mengisi seluruh kursi yang
tersedia.
Pemilu menjadi satu-satunya momentum
karena dalam sistem politik yang berlaku di negeri kita, tak ada
pemilihan selain yang bisa menggantikan sebagian anggota DPR yang ada.
Kita hanya mengenal pergantian antarwaktu (PAW) untuk anggota DPR yang
mengundurkan diri, berhenti (dengan berbagai sebab), dan meninggal
dunia.
Dengan hanya 12 partai politik nasional
yang berhak mengikuti Pemilu 2014, tingkat persaingan memperebutkan
suara pemilih akan jauh lebih ketat dibandingkan dengan pemilu-pemilu
sebelumnya.
Aroma persaingan bahkan sudah tampak
ketat saat penetapan nama-nama daftar calon anggota legislatif (caleg).
Karena jumlah partai yang sedikit, ada persaingan menjadi caleg.
Kabarnya, pendaftar caleg di partai-partai pada umumnya melonjak hingga
tiga sampai empat kali lipat dari yang dibutuhkan. Hal ini memaksa
partai-partai harus menyeleksi secara ketat caleg-caleg yang diajukan.
Perpaduan integritas, kualitas, dan
popularitas caleg seyogianya menjadi pertimbangan utama. Pertama,
integritas berkaitan dengan kepribadian dan moralitas.
Untuk
mendeteksinya, setiap bakal caleg bisa diteliti latar belakang dan
perjalanan aktivitasnya. Jika terindikasi pernah terlibat korupsi atau
pernah melakukan tindakan-tindakan yang tak terpuji maka bakal caleg
yang bersangkutan tak bisa diloloskan menjadi caleg.
Kedua, kualitas berkaitan dengan latar
belakang pendidikan, wawasan, kreativitas, serta pengalaman dalam
mewarnai wacana yang konstruktif dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Cara mendeteksinya, selain dengan
melihat (keaslian) ijazah dan piagam penghargaan yang pernah diperoleh,
juga bisa dilacak melalui “mesin pencari” di jagat maya yang tentu akan
menyimpan dengan baik peran-peran sosial politik seseorang.
Ketiga, popularitas berkaitan dengan
tingkat akseptabilitas caleg. Kalau modalnya hanya populer tapi tidak
akseptabel tidak ada gunanya. Populer yang disebabkan karena tingkah
polah yang negatif tidak ada artinya untuk mengangkat nama caleg.
Berpadunya tiga faktor ini (integritas,
kualitas, dan popularitas) akan menjadi daya tarik tersendiri bagi para
pemilih. Ketika nama baik partai-partai sudah terpuruk, maka nama-nama
caleg yang bersih, bermutu, dan populer bisa menutupinya.
Nepotisme
Masalahnya, apakah betul partai-partai
sudah menggunakan perpaduan integritas, kualitas, dan popularitas
sebagai standar utama penilaian dalam memilih caleg? Tampaknya belum.
Nepotisme dan pola bargaining masih menjadi pertimbangan utama.
Jika ada anak, istri, dan menantu kepala
daerah (gubernur, bupati, wali kota) atau keluarga pemilik partai,
sudah pasti akan menjadi prioritas. Begitupun pemimpin partai-partai
yang tak lolos verifikasi dan bergabung dengan partai yang lolos, sudah
pasti menjadi pertimbangan.
Soal perpaduan integritas, kualitas, dan
popularitas masih menjadi faktor yang kesekian. Banyaknya iklan partai
yang berisi pola perekrutan caleg yang terbuka dengan
pertimbangan-pertimbangan yang rasional, objektif, dan akuntabel, hanya
sekadar pencitraan yang tak sepenuhnya dijalankan.
Jika yang terjadi, dalam perekrutan dan
seleksi dilakukan secara tertutup dan cenderung tidak rasional maka pada
tahap ini partai-partai sudah gagal, atau setidaknya belum punya niat
baik untuk meningkatkan kualitas lembaga legislatif. Padahal peningkatan
kualitas lembaga legislatif menjadi poin yang sangat penting dalam
proses demokratisasi.
Menurut catatan sejumlah pengamat dan
penilaian sejumlah lembaga swadaya masyarakat, kualitas lembaga
legislatif periode 2009-2014 tidak jauh lebih baik dari periode
sebelumnya (2004-2009). Jika pola perekrutan caleg saat ini tidak
menitikberatkan pada integritas, kualitas, dan popularitas, maka kecil
kemungkinan akan lahir lembaga legislatif yang lebih baik.
Kalaupun masih ada, harapan itu antara
lain ada pada rakyat yang akan memilih para caleg. Kejelian rakyat dalam
memilah dan memilih caleg menjadi tumpuan harapan kita akan lahirnya
lembaga legislatif yang lebih baik.
Untuk membantu kejelian rakyat dalam
menentukan pilihan, dibutuhkan peran aktif kampus, akademikus, aktivis,
dan komponen civil society (lembaga swadaya masyarakat, ormas, dan
lain-lain) untuk bahu-membahu melakukan pendidikan politik bagi segenap
rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar